Jumat, Oktober 10, 2008

FILM SANG MURABBI MENYUDUTKAN PESANTREN? TIDAK! (beberapa kritik untuk film Sang Murabbi dan penjelasannya)

Setelah dilansir kurang lebih 2 bulan, film Sang Murabbi mendapat respon yang beragam. Secara umum, respon itu baik. Sesuai dengan segmen film ini, yang terbatas pada kalangan kader dan aktivis dakwah, respon baik itu sesuai dengan tujuan dibuatnya film ini, yaitu menggugah para kader agar kembali mengingat khittah dakwah yang ditancapkan oleh oleh para pendahulunya.

Namun, tentu saja film sang murabbi tetaplah produk manusia yang tidak bisa lepas dari kekurangan-kekurangan, baik secara teknis maupun substansi. Oleh karena itu, kritik dan saran yang berdatangan dari para penonton membuat kami gembira, karena kritik dan saran itu dapat menjadi kaca benggala; betapa masih terlalu banyak pekerjaan dakwah yang harus kita lakukan dan benahi.

Hanya saja, karena kritik dan saran itu datang dari beberapa kalangan (yang sebetulnya sama, yaitu para penggiat aktivitas dakwah juga), ada beberapa kritik yang bertendensi kurang positif sehingga harus mendapat penjelasan. Berikut ini di antara kritik dan penjelasannya. Saya lansir satu per satu ya. Selamat mengikuti.


1. Film "Sang Murabbi", Dialog yang Menyudutkan Pesantren

Sumber tulisan: http://opinianda.wordpress.com dimuat sebelumnya di Republika Online dan Harian Republika, Senin (15/9).

VCD film ‘Sang Murabbi’ yang dikeluarkan oleh Majelis Budaya Rakyat secara umum memuat pesan yang cukup bagus. Film yang dibuat semi dokumenter tersebut menceritakan tentang profil dan kiprah tokoh tarbiyah Indonesia, Ustadz Rachmat Abdullah (alm) dalam menjalankan dakwah semasa hidupnya. Skrip dan skenarionya pun dibuat secara apik, sehingga dapat menggugah semangant dakwah sekaligus membentuk pencitraan dan konsep diri kader dakwah di kalangan tarbiyah.

Namun, ada salah satu dialog dalam film tersebut yang kurang bijak, bahkan cenderung menyudutkan alumni (institusi) pesantren. Dalam scene ceritanya, Ustadz Rachmat Abdullah dicurigai oleh tokoh masyarakat sebagai penyebar aliran sesat karena membuat kelompok pengajian yang lain dari kebiasaan masyarakat setempat.

Selain itu, Ustadz Rachmad Abdullah juga dimata-matai oleh intel karena dianggap dapat membahayakan keamanan. Pada saat Ustadz memberikan pengajian di masjid, datanglah seorang intel yang bernama Suryo yang diutus oleh atasannya. Sang intel menyampaikan surat panggilan dari atasannya agar Ustadz datang menemuinya. Singkat cerita, Ustadz menolak memenuhi panggilan dan menjelaskan bahwa sesama Muslim harus saling menghargai dan tidak saling mencurigai. ”Memang Pak Surya agamanya apa?” tanya Ustadz. ”Ya Islamlah!” ”Dulu Pak Suryo sekolah di mana?” ”Pesantren!” jawab Pak Suryo. ”Berarti masih ingat dong ajaran-ajaran Islam yang pernah Bapak Pelajari?” ”Ya masihlah kalau diingat-ingat!” Dan seterusnya…

Jawaban Pak Suryo yang notabene intel untuk memata-matai Ustadz Rachmad menurut saya cukup mengejutkan. Artinya, Pak Suryo adalah alumni sebuah pesantren, kemudian menjadi intel dan tugasnya mencurigai aktifis-aktifis Muslim. Dialog ini terbilang konyol, karena terkesan menempatkan alumni atau bahkan institusi pesantren (selama ini) tidak bisa menerima (cenderung curiga) terhadap aktifitas kelompok tarbiyah, terlepas pada akhirnya Pak Suryo kemudian insyaf. Jika toh ada intel yang berpendidikan pesantren seperti itu, rasanya jarang sekali dan tidak perlu ditampilkan dalam film tersebut.

Pertanyaannya: Apakah ini salah satu desain pesan yang ingin disampaikan oleh film ini? Jika ya, betapa sangat disayangkan ada pemahamanan di lingkungan tarbiyah yang coba dikembangkan bahwa alumni (institusi) pesantren tidak comfortable dengan gerakan tarbiyah. Padahal, pesantren (pada umumnya) merupakan lembaga yang cenderung toleran terhadap berbagai kelompok keagamaan. Bahkan, pesantren sendiri merupakan tempat menimba ilmu para Murabbi sebelum mereka belajar di berbagai Perguruan Tinggi di Timteng (Mesir, Madinah, Yordania,), seperti Hidayat Nurwahid misalnya.

Jika tidak, mengapa harus dibuat dialog bahwa latar belakang Pak Suryo yang natabene intel alumni pesantren? Apakah ini ada ketidaktelitian scipt writer dan sutradara atau ketidakmengertian mereka bahwa dialog itu kontraproduktif? Jika alasannya bahwa dalam sejarah hidup Ustadz Rachmad memang begitu adanya, apakah perlu pengakuan Pak Suryo pernah belajar di pesantren dimunculkan?

Oleh karena itu sebagai alumni pesantren, saya merasa kurang nyaman dengan dialog itu. Mohon penjelasan dari pihak pembuat film tersebut, dan jika memungkinkan kiranya dapat ditarik kembali untuk direvisi sebelum menyebar lebih luas demi kebaikan bersama.

Thobib Al Asyhar, Jl. Bukit Cinere Kav.156-D Gandul Limo, Depok (Republika Online)

Technorati


2 Tanggapan »

rijalul huda wrote @ September 17, 2008 at 7:15 am

Assalamu’alaikum, Kalau membaca tulisan mas Thobib ini saya menjadi heran, yang salah itu yang mana. Setahu saya memang banyak lulusan pondok yang menjadi intel, dan menjalankan perintah atasannya dengan “baik”. Ini kenyataan, harus kita terima. Sama halnya harus diakui banyak lulusan pondok yang perilakunya lebh tidak Islami. Pondok tidak menjadi jaminan bagi akhlaq seseorang. Nah sekarang memang yang menjadi persoalan adalah bagaimana anda menyikapi fakta itu. Kalau anda melihat itu sebagai kritik konstruktif maka itu akan menjadi pemicu sebuah perbaikan. Tapi kalau anda melihatnya sebagai sebuah pukulan dan sindiran, maka menurut saya anda sedang dalam keadaan tidak siap dalam menerima kenyataan yang sebenarnya. Dan asumsi anda bahwa dialog itu akan mempurburuk citra pesantren terlalu berlebihan, karena film itu tidak akan membawa kesan apapun seperti yang anda sampaikan. Gaya bercerita dalam film itu datar-datar saja dan anti klimaks, sehingga tidak akan menyulut respon kritik film lebih lanjut. Lgipula mas Thobib film ini hanya ditonton kalangan tertentu, sebab memang filmnya bermuatan kepentingan kelompok tertentu pula. Jadi saran saya, tidak perlu berasumsi terlalu jauh. Terima kasih

gojs wrote @ September 17, 2008 at 5:20 pm

menurut saya, dialog ini dibuat bukan untuk meyudutkan pesantren, tapi hanya usaha sang penulis untuk memberikan kesan kontras yang dialami oleh sang intel : seseorang yang sangat mengerti agama namun bertolak belakang dengan kelakuannya.. Sama saja seperti seseorang yang bergelar S.Ag namun berkelakuan tidak semestinya. Untuk kepentingan sebuah film, penulis mengharapkan adegan ini dramatis dan bisa memancing penonton untuk berfikir.


Jawaban Majelis Budaya Rakyat (MBR)

FILM SANG MURABI Tanggapan MBR

Sumber tulisan: Republika Online, 20 September 2008, dimuat sebelumnya di Harian Republika, Sabtu (20/9).

Kami ingin menanggapi surat pembaca tentang film Sang Murabbi yang ditulis oleh Saudara Thobib Al Asyhar di Harian Republika pada hari Senin (15/9).

1. Kami mengucapkan terima kasih atas apresiasi Saudara Thobib kepada film Sang Murabbi. Benar seperti Anda katakan, film ini memang dibuat dan diniatkan untuk menggugah semangat dakwah sekaligus membetuk pencitraan konsep diri kader dakwah di kalangan tarbiyah. Jadi, tak ada niat secuil pun Majelis Budaya Rakyat (MBR) untuk menodai tujuan pembuatan film itu dengan menyudutkan alumni, apalagi institusi pesantren.

2. Kalau Anda cermat, film Sang Murabbi sesungguhnya bercerita tentang kisah hidup seorang santri bernama Rahmat Abdullah. Selama bertahun-tahun Rahmat Abdullah muda digembleng di Pesantren Asy Syafiiyah di bawah asuhan Allahuyarham KH Abdullah Syafii. Setamat dari sana, Ustadz Rahmat muda juga mengajar di almamaternya (coba Anda simak scene yang berisi dialog antara Ustadz Rahmat dan ibunya yang mengeluh kesepian karena Ustadz Rahmat memilih tinggal di pesantren). Dengan fakta ini, mana mungkin kami berniat menyudutkan alumni dan institusi pesantren seperti yang Anda tuduhkan itu.

3. Mengenai tokoh Suryo. Ini adalah tokoh faktual. Artinya, keberadaannya sebagai intel yang alumni pesantren memang fakta adanya. Tentu, Anda bisa menelaah dengan pikiran jernih bahwa scene itu sama sekali jauh dari tendensi menyudutkan alumni pesantren, karena Suryo kami tampilkan sebagai person yang mewakili institusi militer ketika itu (masa rezim Orba). Kami tentu tak perlu menguak lebih jauh keberadaan Suryo dalam konstelasi politik militer masa itu. Tapi, ada pesan yang justru penting dan mungkin Anda lupa untuk memikirkannya: bahwa pada masa rezim Orba, penguasa menggunakan nyaris seluruh anasir umat Islam, termasuk pesantren, justru untuk membatasi ruang gerak umat Islam. Nah, dalam konteks ini, Ustadz Rahmat Abdullah sesungguhnya adalah salah satu contoh korban politik model itu.

Pesan lainnya yang ingin kami sampai dari scene ini adalah: siapa pun bisa menjadi pihak, yang sadar atau tidak, dapat memusuhi umat Islam. Suryo menjadi intel lebih karena sistem yang menzaliminya, sehingga dalam menjalankan tugasnya tampak jelas potensi kefitrahannya sebagai seorang Muslim. Coba Anda ikuti sepak terjang Suryo di beberapa scene, termasuk curhatnya kepada Ustadz Rahmat tentang rasa stressnya akibat harus selalu memantau kegiatan Ustadz Rahmat padahal hal itu tidak diinginkannya.
Jadi, jangan melihat sosok Suryo hanya dalam scene pendek itu. Anda memotong cukup banyak informasi yang penting tentang Suryo yang kami tampilkan dalam film itu. Kami rasa Anda tidak adil dalam memandang sosok Suryo.

4. Kami yakin kritik Anda terhadap film Sang Murabbi lebih karena kecintaan Anda kepada institusi pesantren, bukan karena fanatisme yang membabi buta, apalagi sekadar rasa tersinggung yang tidak perlu.

Demikian jawaban dari kami. Semoga bermanfaat.

Muhammad Yulius
Ketua Umum Majelis Budaya Rakyat (MBR) Jl. Intan Baiduri No. 19 Kemayoran, Jakarta Pusat

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

MA TUR NU WON telah mengunjungi blog saya, selamat bersilaturahmi di dunia maya yaaa...