Senin, Mei 26, 2008

Surga

Oleh Umdah El-Baroroh
25/06/2007

Demi berebut surga, tak jarang mereka justru bertengkar dengan sesama. Mereka berlomba-lomba menyesatkan orang, memvonis orang lain sebagai pendosa dan terlaknat. Seolah hanya mereka sajalah yang layak menghuni surga. Doktrin ini ikut pula melumpuhkan etika dan moralitas yang merupakan pokok ajaran Islam. Orang lupa bahwa ajaran Islam sangat menekankan amal salih kepada sesama.


Salah satu hadis yang lumrah didengungkan mayoritas umat Islam adalah “Surga berada di bawah telapak kaki ibu.” Ungkapan metaforis hadis itu menarik dicermati. Hadis itu seakan menyiratkan betapa dekatnya jarak kita dengan surga. Ia bukanlah tempat mewah yang jauh dari jangkauan angan-angan. Surga ada di bawah telapak kaki ibu. Artinya, kunci masuk surga adalah berbuat baik dan berbakti kepada seorang perempuan: ibu.

Makhluk ini, oleh Jalaludin Rumi dalam Matsnawi, layak disebut ”seorang pencipta”. Ketika Nabi Muhammad ditanya seorang sahabat tentang siapa yang paling layak ia taati, beliau menyebut “ibumu!” tiga kali berturut-turut.

Namun tidak semua Muslim menyadari ajaran yang tersirat dari hadis tersebut. Banyak orang kini berbondong-bondong mencari surga dengan cara meninggalkan rumah dan keluarga. Inilah yang antara lain dilakukan para teroris yang mengaku diri sebagai pembela Islam dan berdakwah secara kasar dengan dalih jihad. Mereka bahkan tak segan membunuh dan merampok orang yang dianggap musuh. Mereka pun seringkali membohongi dan menyembunyikan tindakannya dari sanak-keluarga.

Pengakuan beberapa keluarga teroris baru-baru ini menunjukkan bahwa pihak keluarga tidak benar-benar tahu tindak tanduk dan gerak-gerik sang teroris. Orang tua, saudara, bahkan istri sendiri, seringkali tak paham apa yang mereka kerjakan. Bagi para teroris, keluarga–terutama yang tidak seideologi—sudah tehitung sebagai orang lain, bahkan bisa menjadi musuh yang patut diperangi.

Meski tidak terang-terangan berkata begitu, cara mereka menyembunyikan diri adalah bukti bahwa mereka tidak lagi menganggap keluarga sebagai bagian dari jamaahnya. Karena itu, mereka harus berpura-pura bahkan menjadikan keluarga sebagai sasaran dakwah. Keluarga pun dianggap harus dikembalikan ”ke jalan lurus” sebagaimana yang telah mereka tempuh.

Sebagian umat Islam terkadang ikut pula tergiur akan impian indah tentang surga. Surga ibarat obat ampuh untuk menawar rasa perih dan penderitaan yang mereka tanggung. Kebodohan dan keterbelakangan membuat mereka frustasi dalam menjalani hidup. Satu-satunya harapan adalah hidup bahagia di kemudian hari.

Jika tak bisa hidup enak sekarang ini, mengapa tidak berharap di akhirat nanti?! Itulah tombo ati yang dianggap mampu menenangkan kegelisahan jiwa. Tapi, dengan harapan sedemikian, mereka justru melupakan luasnya khazanah Islam. Doktrin surga-neraka telah ikut mereduksi ajaran Islam. Seluruh amal perbuatan mereka selalu ditujukan untuk mendapat surga. Mereka berebut kavling surga. Pilihan setelah mati hanya dua: surga atau neraka.

Demi berebut surga, tak jarang mereka justru bertengkar dengan sesama. Mereka berlomba-lomba menyesatkan orang, memvonis orang lain sebagai pendosa dan terlaknat. Seolah hanya mereka sajalah yang layak menghuni surga. Doktrin ini ikut pula melumpuhkan etika dan moralitas yang merupakan pokok ajaran Islam. Orang lupa bahwa ajaran Islam sangat menekankan amal salih kepada sesama.

Karena itu, wajar bila sufi perempuan, Rabi’ah al-Adawiyah, merasa gundah. “Aku akan ke langit untuk membakar surga dan memadamkan neraka agar keduanya tak menjadi alasan orang untuk berbakti kepada-Nya.” Kegundahan Rabi’ah menunjukkan bahwa doktrin surga-neraka ikut memalingkan umat manusia dari esensi dari ajaran agama. Alih-alih berbuat kebajikan demi mendapat surga, mereka justru menyakiti sesama.

Minggu, Mei 25, 2008

Tongkat Nabi Musa di Lebanon


Tak salah jika Ibrahim al-Amin, kolumnis terkenal Lebanon, menganggap bahwa Hasan Nashrallah, Sekjen Hizbullah, adalah pewaris tongkat Nabi Musa. Dia mampu menelan semua ular yang dilempar para konspirator untuk mencederainya. Meski dia tidak mendapat wahyu di Bukit Sinai, tapi dia sangat cerdas membaca gelagat dan keadaan.

Sejak selesai perang 2006, semua pakar militer menyatakan bahwa Israel tak mungkin lagi—setidaknya dalam waktu dekat—berhadapan langsung dengan Hizbullah. Trauma perang 2006 masih sangat terasa. Israel hanya akan mengrengek meminta AS menggunakan tangan-tangan sekutu Arabnya untuk menusuk Hizbullah dari belakang dan mengguntingnya di lipatan. Dan itu artinya melibatkan Hizbullah dalam sebuah konflik sektarian Sunni-Syiah yang berdarah-darah.

Tentu AS tak mengalami banyak masalah meyakinkan sekutu-sekutu Arabnya untuk terlibat dalam rencana sejahat ini. Hasil akhir perang 2006 lalu nyata-nyata tak menguntungkan dinasti-dinasti Arab, terutama Arab Saudi, Yordania dan Mesir yang selama ini terus menikmati status quo konflik di Timur Tengah. Ketiga rezim itu tak pernah canggung memperlihatkan kerisauan atas meluasnya popularitas Hizbullah (dan Hamas). Dalam hampir semua kesempatan, rezim-rezim status quo itu terus menunjukkan permusuhan pada kelompok perlawanan ini. (Di Kairo 10 Mei kemarin, Saud al-Faisal, menlu Arab Saudi, menyatakan bahwa “Hasan Nashrallah sama saja dengan Ariel Sharon. Mereka sama-sama menduduki Beirut.”)

Jelas mereka tak akan ragu barang seinci pun untuk terlibat aktif menghancurkan Hizbullah (dan Hamas). Mereka dan Israel sama-sama menganggap Hizbullah (dan Hamas) sebagai ancaman langsung bagi segala dominasi yang mereka nikmati selama ini. Negara-negara ini pula yang memperuncing konflik sektarian di Irak, lantaran mereka tak ingin Irak tumbuh sehat sebagai sekutu Iran-Suriah. Aliansi segitiga semacam itu jelas adalah kiamat bagi mereka.

Masalahnya tinggal mencari skenario paling tepat untuk menyeret Hizbullah dalam konflik sektarian. Dan tak ada skenario paling murah ketimbang menyuruh koalisi 14 Maret yang berkuasa di Lebanon untuk mengeluarkan sejumlah keputusan yang medelegitimasi Hizbullah dan membenturkannya dengan aparat hukum. Ketika Hizbullah sudah terpojok, milisi-milisi pro pemerintah akan turun ke jalan dan menyerang markas-markas Hizbullah. Ramuan kekacauan yang lezat.

Mengendus gelagat buruk itu, pimpinan Hizbullah berulang-ulang memperingatkan koalisi 14 Maret untuk tidak berkomplot memojokkan Hizbullah, apalagi mengutak-utik senjatanya. Nabih Berri, ketua parlemen yang dikenal dekat dengan semua kalangan, juga mempertegas peringatan Hizbullah dengan menambahkan bahwa upaya semacam itu akan membumi-hanguskan seantero Lebanon.

Tapi koalisi 14 Maret yang terdiri atas elit anti gerakan perlawanan justru bertekad maju bersama rencana AS dan Israel. Serangan atas Hizbullah pun terus meningkat. Sejak awal tahun kemarin, serangan dengan penyesatan opini publik tentang Hizbullah dimulai. Medio tahun yang sama, jajaran kadernya diagitasi di beberapa basis massa pro pemerintah. Aliran dana sumbangan untuk Hizbullah pun dipersulit. Kemudian awal tahun ini, provokasi terbesar terjadi: komandan militernya tewas terbunuh dalam bom mobil.

Walid Jumblat, pemimpin Partai Sosialis Progresif dan veteran perang sipil Lebanon yang terkenal dengan oportunisme politik, mengawali tahun ini dengan serangkain provokasi terhadap Hizbullah. Di tengah keadaan berkabung yang menyelimuti pimpinan Hizbullah, dia meminta pemerintah menyelidiki sejumlah kader partai itu atas tuduhan terlibat sejumlah pembunuhan politik.

Lalu, medio April tahun ini, politisi Perancis bernama Kareim Pakzad datang ke Lebanon atas undangan Jumblat. Beirut digemparkan oleh konferensi pers Pakzad dan Jumblat dua hari setelah itu. Pakzad mengaku telah “diculik” dan diinterogasi oleh orang-orang bersenjanta Hizbullah. Jumblat memanfaatkan insiden itu untuk kian membetot urat syaraf Hizbullah. Di hadapan ratusan wartawan internasional, Jumblat mengecam prosedur pengamanan Hizbullah yang berlebihan. “Cara pengamanan seperti itu bertentangan dengan hukum yang berlaku,” katanya. Jumblat pun meminta pemerintah memeriksa pelanggaran hukum seputar insiden ini.

Anggota pengamanan Hizbullah pantas menyekap Pakzad. Politisi Perancis itu ternyata memotret markas besar Hizbullah di kawasan Dahia. Sejumlah sumber malah mengatakan bahwa Pakzad mengambil gambar lorong yang berada beberapa puluh meter dari kediaman Sekjen Hizbullah, Hasan Nashrallah. Padahal, semua orang tahu, terutama Jumblat, bahwa wilayah Dahia yang menjadi pusat aktivitas Hizbullah bukanlah tempat plesiran. Kehadiran politisi pro Israel di Dahia sangat menyinggung Hizbullah.

Awal Mei ini serangan atas Hizbullah meningkat secara dramatis dan terarah. Setelah “kunjungan kerja” selama dua bulan di Arab Saudi, Saad Hariri langsung memuntahkan rentetan gempuran atas Hizbullah, dan Hasan Nashrullah secara pribadi. Al-Akhbar, salah satu koran terbesar Lebanon, mengutip sumber dari dalam koalisi 14 bahwa AS menjanjikan bantuan besar buat Hariri untuk membekuk Hizbullah. LA Times membeberkan informasi kerjasama AS-Arab Saudi untuk membentuk milisi Salafi yang mampu melawan Hizbullah dalam perang kota. Uang ratusan juta dolar dari Arab Saudi pun sudah digelontorkan tahun lalu untuk membangun milisi pro pemerintah di bawah kendali langsung Hariri.

Jika semua berjalan lancar, awal Juni tahun ini Hizbullah akan ditekan dari segala segi, dan diperosokkkan dalam konflik sektarian yang berlarut-larut dan menguras energi.

Sehari sebelum Roed-Larsen mengajukan laporannya pada tanggal 7 Mei, pemerintah Siniora-Hariri memutuskan untuk membongkar seluruh jaringan komunikasi Hizbullah dan menindak secara hukum semua orang yang terlibat dalam kasus ini. Nashrallah dalam konferensi persnya menyebut keputusan pemerintah ini sebagai upaya adu domba yang jelas. Tak hanya itu. Nashrallah menganggap keputusan itu sebagai deklarasi perang dan upaya membenturkan kader-kader Hizbullah dengan aparat keamanan. “Dan ini adalah sesuatu yang tidak akan kami diamkan.”

Nashrallah melanjutkan, “Komisi Winograd yang mengevaluasi sebab-sebab kekalahan Israel dalam perang 2006 membeberkan bahwa kekuatan utama Hizbullah adalah sistem komunikasi dan komandonya yang efektif. Saat tangan pemerintah Siniora mulai menyentuh senjata strategis kelompok perlawanan ini, kami sadar bahwa AS-Israel benar-benar telah mengendalikan kantor Siniora. Dan inilah persisnya yang tidak mungkin kami biarkan begitu saja berlaku.”

Tanggal 7 Mei malam, manakala Roed-Larsen mengulum lidah membaca laporannya di hadapan DK PBB, gerakan militer seperti sambaran petir merentang dari daerah Dahia menuju Beirut Barat yang berjarak 70-an kilometer. Blitzkrieg Hizbullah membuyarkan seluruh rencana serangan ribuan milisi Hariri dan Jumblat yang bersiap menyerbu Dahia bersama datangnya aparat penegak hukum untuk merusak pusat jaringan komunikasi Hizbullah.

Upaya untuk menyeret Hizbullah dalam sebuah konflik sektarian yang berlarut-larut dan membuatnya terlihat sebagai gerakan pembunuhan atas sekte tertentu pun gagal total. Jumlah korban yang sangat terbatas juga menyebabkan publik Sunni tak tertarik untuk membeli provokasi Hariri yang menggambarkan bahwa apa yang terjadi adalah sect cleansing.

“Seluruh rencana matang yang digodok selama tiga tahun itu pun berantakan dalam semalam,” ungkap Zeevi Aharon, mantan kepala operasi intelijen Israel kepada sebuah situs khusus intelijen Israel, Filkka. Hari esoknya, seluruh media Israel bersama-sama menyatakan keputusasaannya atas apa yang terjadi di Beirut.

Berbagai pernyataan pemimpin AS dan Israel secara beruntun menunjukkan betapa besar ruginya kekalahan pemerintah Siniora bagi proyek AS di Lebanon. The Independent memberi laporan utama dengan judul “Satu Lagi Kegagalan Bush di Timur Tengah”.

Hasil pertemuan Doha menunjukkan betapa hancurnya mental kubu anti Hizbullah. Dua poin yang diminta oleh oposisi yang dipimpin Hizbullah pun dikabulkan, sekalipun harus melalui babibu politik yang hanya untuk menutupi besarnya kekalahan musuh Hizbullah. Tongkat Nabi Musa yang dulu dipakai untuk membela bangsa Yahudi, kini bekerja untuk melawan zionis Israel yang mengira sebagai pengikut Nabi Musa. Benar-benar mukjizat Ilahi yang memukau nalar.

MA TUR NU WON telah mengunjungi blog saya, selamat bersilaturahmi di dunia maya yaaa...