Ada begitu banyak orang yang sering kali melemparkan suatu tuduhan kepada orang lain, namun tanpa dia sadari, dirinya sendiripun termasuk dalam tuduhan tersebut.
Misalnya, seorang mahasiswa yang melapor kepada dosen pengawas ujian bahwa si A itu menyontek. Namun, tanpa dia sadari (tapi saya yakin dia sadar sih), ternyata dirinya pun menyontek.
Hal ini juga terjadi pada kehidupan keberagamaan. Salah satunya mungkin bisa kita jadikan pelajaran bersama, yaitu jawaban dari Ahmad Sarwat ketika menjawab pertanyaan yang dilayangkan kepadanya. Jawaban tersebut bisa anda baca disini.
Syiah sering kali dituduh sebagai pihak yang mencaci sahabat Nabi bahkan dituduh sampai mengkafirkan sahabat Nabi. Sudah berpuluh-puluh website yang membahas persoalan ini. Sudah berderet situs yang melemparkan tuduhan tersebut kepada Syiah. Tuduhan yang sering kali dilemparkan oleh orang-orang yang mengaku dirinya Ahlulsunnah. Tetapi apakah itu benar?
Ahmad Sarwat mengatakan bahwa syiah yang masih menghormati pada shahabat khulafaurrasyidin itu jelas masih muslim. Kita tidak mungkin mengatakan mereka kafir begitu saja. Tetapi syiah yang mengkafirkan para khulafaurrasyidin itu, atau bahkan mencaci maki mereka sambil menambahi kata-kata laknatullahi ‘alaihim setiap menyebut nama Abu Bakar, Umar, Utsman dan Aisyah, jelas-jelas syiah yang 100% kafir, bukan Islam dan musuh umat Islam sedunia.
Dari sana disimpulkan bahwa siapa saja yang mencaci maki Abu Bakar, Umar, Utsman, Aisyah adalah orang yang 100% kafir. Muncullah pertanyaan dalam benak saya, apa yang menjadi dasar pernyataan beliau itu?
Ternyata pada jawabannya tersebut beliau menyampaikan argumen yang melandasi jawaban tersebut. Bahwa hal ini sejak awal masa Islam telah disepakati oleh para ulama, meski mereka tidak secara ekplisit menyebut syiah sebagai pelakunya. Misalnya, Imam Malik berkata: “Orang yang mencela shahabat-shahabat Nabi, maka ia tidak termasuk dalam golongan Islam.”
Penulis tafsir Al-Jami’ li Ahkamil Quran, Al-Imam Al-Qurthubi berkata: “Sungguh ucapan Imam Malik itu benar dan penafsirannya pun benar. Siapa pun yang menghina seseorang Shahabat atau mencela periwayatannya, maka ia telah menentang Allah, Tuhan seru sekalian alam dan membatalkan syariat kaum Muslimin.”
Jadi, orang yang mencaci sahabat Nabi itu adalah orang kafir memiliki dasar argumen dari pernyataan beberapa ulama. Muncul pertanyaan lagi. Lalu apa yang menjadi dasar bagi para ulama itu untuk mengeluarkan pernyataan bahwa orang yang mencaci sahabat Nabi itu kafir? Tetapi nampaknya Ahmad Sarwat tidak mencantumkan dalam jawabannya tersebut. Mungkin bisa ada yang membantu Ahmad Sarwat untuk melengkapi jawabannya?
Ambillah kita menyepakati pendapat para ulama itu bahwa orang yang mencaci sahabat Nabi adalah orang yang kafir, telah keluar dari agama Islam.
Lalu bagaimana dengan beberapa riwayat yang sampai ke tangan kita bahwa diantara sahabat Nabi sendiri terjadi, bukan hanya caci maki, tetapi sampai pada pertikaian dan peperangan yang tentunya menelan korban jiwa?
Sebut saja pertikaian yang terjadi di Saqifah saat perebutan kekuasaan kekhalifahan, padahal saat itu jenazah Nabi belum sempat dikuburkan; perang jamal antara Imam Ali dengan pasukan Aisyah, padahal Nabi sudah melarang istri-istrinya untuk keluar rumah; perang siffin antara Imam Ali dengan Muawiyah.
Jika kita konsisten dengan pendapat ulama itu, bahwa “orang yang mencaci dan mengkafirkan sahabat Nabi adalah orang kafir”, maka mau tidak mau kita harus mengatakan sahabat yang saling lempar caci maki dan menumpahkan darah diantara mereka itu sebagai orang kafir. Dan kita yang menyatakan mereka sebagai orang kafir, padahal mereka itu sahabat Nabi, maka kita sendiri juga kafir. Jadi ndak ada yang bener donk? bingung khan?
Kembali ke pertanyaan awal, apakah benar syi’ah telah mencaci dan mengkafirkan sahabat Nabi?
Dalam menjawab pertanyaan yang sering kali dilontarkan oleh orang-orang yang mengaku diri mereka ahlulsunnah itu, saya ingin mengajak Anda semua untuk sedikit melihat kepada kitab-kitab Ahlulsunnah.
Imam Al-Bukhari di dalam Shahihnya, Kitab al-Riqaq, bab al-Haudh halaman 379-386 menyatakan bahwa mayoritas para sahabat Rasulullah saw telah murtad sepeninggal wafatnya Rasulullah. Hanya segelintir dari mereka yang selamat.
Rasulullah bersabda, “Aku mendahului kalian di Haudh dan sebagian dari kalian akan dibawah kehadapanku, kemudian mereka dipisahkan jauh dariku. Aku (akan) bersabda: Wahai Tuhanku! Mereka itu adalah sahabatku (ashabi). lalu dijawab: sesungguhnya engkau tidak mengetahui apa yang dilakukan oleh mereka setelah engkau meninggalkan mereka (inna-ka la tadri ma ahdathuu ba’da-ka).
Pada riwayat yang lain Rasulullah juga bersabda: “Wahai Tuhanku! Mereka itu adalah para sahabatku, lalu dia berfirman: Sesungguhnya Engkau tidak mengetahuai apa yang telah mereka lakukan sepeninggalmu. Sesungguhnya mereka telah menjadi murtad ke belakang (inna-hum irtadduu ‘ala a’qabi-him al-Qahqariy)”.
Riwayat-riwayat diatas, dikutip dari The Translation of the Meanings of sahih Al-Bukhari Arabic-English Vol. VIII oleh Dr. Muhammad Muhsin Khan, Islami University, Medina Al-Munawwara.
Jadi sebenarnya di dalam kitab Ahlulsunnah sendiri ada riwayat yang menunjukkan kepada kita semua bahwa ada sahabat Nabi yang murtad sepeninggal Nabi. Di antara mereka murtad karena merubah sunnah Nabi, mengacak-acak ketentuan-ketentuan yang telah diturunkan oleh Allah melalui Rasul-Nya. Celakanya, riwayat itu ada dalam kitab hadits yang dianggap oleh Ahlulsunnah sebagai kitab hadits yang paling shahih.
Apakah lantas kita berani mengatakan bahwa Bukhari yang telah meriwayatkan riwayat tersebut sebagai orang kafir? Apakah kita mau mengatakan bahwa Ahlulsunnah itu kafir karena meyakini hadits itu sebagai hadits shahih?
Lalu jika sudah seperti ini, manakah yang benar? Karena menurut Ahlulsunah, di syi’ah pun ada riwayat bahwa mayoritas sahabat Nabi itu murtad dan yang selamat hanya 4 orang saja, jadi Syi’ah juga kafir.
Menurut saya, sebelum kita menentukan mana yang benar, apakah sunni atau syi’ah, maka kita harus mau menelaah kembali pernyataan para ulama yang dijadikan rujukan oleh Ahmad Sarwat bahwa “orang yang mencaci atau mengkafirkan sahabat Nabi adalah orang kafir”. Pernyataan itu yang kemudian harus kita kritisi. Karena jika tidak, sama saja kita menganggap semua sahabat Nabi yang saling berperang adalah orang kafir karena mencaci maki saja bisa jadi kafir apalagi jika sampai saling memerangi Dan kita juga kafir, karena mengatakan mereka kafir padahal mereka adalah sahabat Nabi.. Jadi semuanya kafir.
Alih-alih mau mengkritisi, argumen yang menjadi dasar pernyataan ulama tersebut pun belum kita ketahui. Atau ada diantara Anda yang mengetahuinya? silakan…